Shalom
semuanya, kali ini saya akan menuliskan sebuah cerpen yang benar-benar
menyentuh hati saya. Karena kisah ini mengenai seorang cewek yang sebelumnya
adalah seorang cewek tomboy, yang karena pertobatannya membuat abangnya juga
berubah & dari situ juga awal dari pemulihan keluarga si tomboy. Dan perlu
saya sarankan untuk teman-teman supaya membaca notes ini lewat komputer anda.
Karena cerpen ini amat panjang.
Baiklah tanpa basa-basi lagi, berikut ini
adalah kisahnya. Selamat membaca. ^_~Aw
Ketika Tomboy berubah…
“Gue sumpahin lu jadi botaaaaaaak!!!”
Biasanya teriakan itulah yang
menggema tiap hari di rumah berlantai dua ini, teriakan si Ribka Syalomita yang
adalah adik perempuanku satu-satunya. Perempuan? Di KTP sih tertulis begitu,
tapi aslinya… Pria banget!! Ksatria, perkasa! Makanya aku enggak pernah manggil
dia Ribka, mulut jadi asin kalau manggil dia pakai nama perempuan. Jadi aku
panggil dia Ribko Santoso, tapi karena kepanjangan, aku panggil dia Tomboy.
Selain rambutnya yang bondol kaya
Afgan, Tomboy juga jago silat. Pemegang sabuk hitam sejak pertengahan kelas dua
SMA. Jalannya petantang-petenteng, mirip preman di sinetron. Rok yang tomboy
punya cuma rok sekolah, sisanya celana. Mau ke gereja juga pakai celana, untungnya
masih celana bahan. Dengan tinggi 157 cm dan berat 45 kg, Tomboy termasuk
mungil. Waktu masih kecil, kulit Tomboy bersih bersinar, sekarang sudah
menghitam karena suka panjat tebing. Matanya besar dan bola matanya hitam,
memang cocok buat Tomboy yang selalu penasaran sama urusan orang lain. Kulit
mukanya bersih licin, selicin singa laut.
Tapi tiga bulan ini lebih sering
harga minyak goreng naik turun dibanding munculnya teriakan si Tomboy. Aku
memang enggak terlalu ‘ngeh’ dengan hal apa saja yang terjadi di rumah. Suatu
kali aku lagi cuci motor dan minta mbak Nur nyalain kran air. Aku kaget
setengah napas karena yang muncul bukan mbak Nur, tapi lelaki berjambul dengan
kumis ala “Si Doel Anak Sekolahan”. Hampir saja kepalanya benjol karena
emberku, untunglah Mama cepat muncul dan mengabarkan bahwa pria berkumis itu
adalah pembantu baru kami, sejak tiga hari lalu!! Dueeeeenk!!
Mungkin aku cuek, tapi perubahan
Tomboy adalah hal yang sangat menarik perhatian. Istilahnya, seperti seorang
nenek pakai baju jogging warna pink, celana ketat warna hijau, sekaligus pakai
high heels di depan pintu mall. Mencolok banget gitu loh!
Misalnya kemarin pagi. Aku serasa
mendapat serangan jantung. “Beneran nih lagunya Hillsong?” Pikirku waktu
mendengar ‘King of Majesty’ dari kamar si Tomboy. Walau aku buta dengan
lagu-lagu rohani, tapi kalau Hillsong ya tahu sedikitlah.
“Lu demam yak?” Punggung tanganku
menutupi dahi Tomboy, mengecek apakah dia sedang pilek atau terkena demam
kemarau.
“Ih oncom, apaan sih lu ah!”
Tomboy menepis tanganku.
“Lagu dari mana tuh?”
“Dari Sarah. Enak kan? Gue suka
banget deh sama lagu-lagunya Hillsong. Lagu-lagunya TW juga enak. Terus…”
“Lu sakit, Boy?” Potongku cepat.
Tomboy pun berlalu sambil nyengir
lebar.
Kejanggalan kembali terjadi sore
ini. Yang ini benar-benar bikin serangan jantung. Tomboy masuk ke kamarku untuk
mengambil haedset yang kupinjam. Begini urutan kejadiannya: Kejanggalan
pertama, “tok…Tok… Tok”, Tomboy mengetuk pintu kamarku, padahal biasanya,
“kreeet… Gubrak”, masuk tiba-tiba persis anggota SWAT di film action.
Kejanggalan kedua, “bang, headset gue mana?” Dan aku mendarat mulus dari tempat
tidurku menuju lantai yang dingin.
“Lu manggil sapa, Boy?” Kataku
sambil menengok kanan kiri. Siapa tahu ada orang lain di kamarku.
“Hahaha… Ya elu lah. Headset gue
mana?”
“Di… Di… Di atas meja”, aku
gagap.
“Oke bang”. Dan Tomboy pun
kembali nyengir seraya menutup pintu pelan.
“Abaaaaaang?!!” Aku histeris di
dalam kamar. Oncom adalah penggilannya kepadaku, karena aku suka pepes oncom.
Dan Tomboy tahu dengan pasti aku kesal dengan julukan itu. Ya iyalah, masa muka
ganteng nan cool ini dipanggil oncom?! Tapi, abang? Nooo!! Delapan belas tahun
Tomboy menjadi adikku (yang aku akui di depan semua orang bahwa Tomboy adalah
anak tetanggaku), baru kali ini manggil aku abang, pake senyum pula! Alamak!
Umurku memang 22 tahun, tapi
menghabiskan hari-hari bersama Tomboy tak pernah ada bosannya. Berantem sih
iya, justru itu yang bikin rumah jadi enggak membosankan. Selain berantem aku
sering menonton film, main ke dufan, panjat tebing, camping di gunung, dan main
monopoli sama Tomboy. Tapi sekarang sudah enggak pernah! Rasa penasaran ini tak
terbendung lagi. Aku pun menjadi detektif dan mulai menelusuri misteri ini…
Tuut… Tuut…
“Halo?”
“Wooi, Na. Si Tomboy kemana? Kok
belum pulang?” Seruku pada Rina, teman dekat tomboy.
“Ga tau, kak, bubar kelas kita
langsung pisah. Lu telepon ajalah”
“Ogah! Kok lu ga pernah bareng
Tomboy lagi?
“Lu tanya aja sendiri sama dia.
Mulai sombong tuh anak punya temen-temen baru”. Rina menjawab ketus.
“Oh, okelah. Tengkiu yak”.
Telepon putus. Aneh… Rina aja
enggak tahu dimana Tomboy berada. Nelepon Tomboy? Sorry layaw! Nanti kedokku
sebagai detektif terbongkar, enggak seruuu! Tapi minimal sudah ada dua fakta:
satu, Tomboy punya teman-teman baru. Dan dua, suara si Rina di telepon cempreng
banget.
Aku pun melanjutkan penyelidikan.
Aku ambil handphone dan mulai memijit nomor telepon Via, cewe berambut panjang
yang sering bolak-balik ke kamar Tomboy belakangan ini.
Tuut… Tuut…
“Halo?”
“Ni gue, Andrew. Ada tomboy ga?”
“Oh, ada kak. Ni kita abis ibadah
Jumat di sekolah. Mau ngomong langsung sama Ribka?”
“Ibadah?!” Melon yang sedang
kukunyah hampir nyangkut di tenggorokan. “Ga usah, jangan bilang gue nelepon
yak. Betewe, gue mo nanya Vi…”. Perbincangan pun berlanjut hingga setengah jam
berikutnya…
Tahulah aku bahwa Tomboy mulai
ikutan ibadah jumat di SMA-nya sejak enam bulan lalu, tepatnya waktu ia naik
kelas tiga. Dan sejak ia ikut retreat tiga bulan lalu, itulah awal mula aku
merasakan keanehan pada Tomboy. Tiga bulan ini tiap malam minggu Tomboy selalu
ngeloyor pergi, dan baru aku tahu dari Via, bahwa ia pergi ke komsel barunya,
komsel dari gereja Via. Minggu kemarin ketika kami sekeluarga mau berangkat ke
gereja, Tomboy pakai rok warna hitam dengan kemeja hitam. Mata kami sekeluarga
hampir melompat persis kodok di kali. Walaupun gaya pakaiannya kaya mau melayat
ke rumah duka, tapi rok?! Tomboy pakai rok walaupun masih bergaya gothic.
Enggak ada lagi levi’s butut robek-robek atau kaus oblong kalau Tomboy keluar
rumah. Ia tetap memakai jeans dan kaus, tapi yang enggak ada robeknya. Enggak
ada lagi gelang dan kalung berantai berduri yang memang norak, tapi keren
menurut Tomboy. Itu semua dimuseumkan. Waw!
***
“Cabut yu”, ajakku pada Tomboy
yang sedang duduk di kursi goyang sambil membaca buku bersampul biru muda.
“Kemana?” jawab tomboy tanpa
mengalihkan matanya dari huruf-huruf di buku itu.
“Ke mana kek! Ke Ancol, ke Monas,
ke warung makan padang, terserah lu lah”
“Nanti ya bang, abis gue baca
buku ini”, Tomboy menjawab santai.
“Ah elah, baca apaan sih lu?
‘Tuhan Datang Mendekat’, Max Lucado. Ajigileee, tobat lu ye? Bacaannya berat
cuy”. Kataku sambil menjitak kepala Tomboy.
“Ah, sakit oncom.” Jawab Tomboy
dengan ketus.
“Beh, kalo dijitak lu manggil gw
oncom lagi. Sini gue jitakin supaya lu waras lagi.” Kataku sambil menjitaki
kepala Tomboy.
“Aaaah! Iya iya, kita jalan. Tapi
lu ikut gue dulu ya.”
“Kemana?” Tanyaku heran.
“Ke komsel.”
“Ogah!” Dan kami pun tiba di
komsel gereja Via dua jam berikutnya.
Kesan pertama di komsel ini:
menyenangkan. Cuma ada lima belas orang, sembilan cewe dan enam cowo. Semuanya
ramah. Musiknya cuma gitar, tapi justru terasa khidmat. Dari kecil aku dan
Tomboy udah biasa ke gereja. Sama Mama, Papa juga. Papa bilang enggak enak
kalau enggak gereja, soalnya salah satu petinggi gereja ini adalah bos Papa
sejak zaman dahulu kala. Di gereja
tempat kami ibadah orangnya sibuk semua. Ada pejabat, artis, sampai reporter
berita kriminal. Karena mereka orang sibuk, kami jaraaaaaaang banget ngobrol
sama orang-orang gereja kami. Selesai ibadah ya pulang, masa mau nyapuin lantai
gereja? Lagian makin lama si Via kelihatan tambah manis, lumayan datang komsel
buat PDKT. Hehehe…
Setelah komsel, aku dan Tomboy
mampir dulu ke cafe favorit kami. Kami berdua memesan spaghettidan orange
juice. Aku sudah melahap seperempat spaghetti ketika kulihat tomboy berdoa.
“Amin”. Tomboy menyelesaikan
doanya, aku masih terpana.
“Boy, lu ngapain barusan?”
“Nyuci beras. Ya berdoa lah.
Sebelum makan tuh berdoa dulu.” Tomboy menyeruput orange juice dan mulai
menyantap spaghetti-nya.
“Yaelah, biasanya juga langsung
makan aja. Lagian kan ini di tempat umum Boy. Malu ah kalo pake berdoa.”
“Lah, kan kita udah bayar pajak.
Orang yang ga bayar pajak, baru tuh malu.” Tomboy melawak. Sama sekali enggak
lucu.
“Berdoa tuh di rumah sama di
gereja aja, Boy. Lagian kan kita cuma makan mie. Kalo makan nasi baru berdoa.” Kataku
dengan gaya ‘gue-paling-tau.’
“Lah, apa bedanya nasi sama mie?”
“Kalo nasi kecil-kecil warna
putih, kalo mie keriting warna kuning.” Jawabku mantap.
“Hahahaha! Eh bang, Yesus aja
berdoa dulu sebelum makan roti sama murid-murid-Nya, lah kita makan mie masa ga
doa? Dosa tau bang.”
“Sok tau lu!” Dan aku pun
menghabiskan makan malam itu dengan rasa berdosa.
***
Sore ini aku duduk santai di
teras setelah memandikan ‘si belalang tempur’, mobil kesayanganku. Kugigit
choco chips dan menyeruput melon juice. Angin semilir membuat mataku terpejam
membayangkan sosok manis Via. Belum utuh Via muncul dalam khayalanku, ‘cluk’,
ada sesuatu yang menyentuh hidungku. Aku bangun dengan kaget, dan melihat
pesawat terbang kertas di pangkuanku. Kubuka lipatannya dan membaca sebaris
pantun disana,
buah mangga enak rasanya
apalagi ditambah gula
jangan suka berkhayal tak guna
hanya akan menambah dosa
Sial! Aku bersiap bangkit dari
kursi dan menjitak kepala Tomboy yang sedang duduk cekikikan di atas kap “si
belalang tempur” yang sedang kujemur. Namun gerakanku terhenti ketika kulihat
beberapa lembar HVS dan sebuah pulpen di atas meja di sampingku. Oooh, mau main
lempar-lemparan pesawat terbang? Boleh! Ku ambil selembar HVS dengan garang dan
mulai menulis. Selesai, lalu kuterbangkan pesawat kertas itu sengaja ke pohon
mangga. Tomboy buru-buru turun dan segera memanjat pohon mangga. Aku tertawa
terbahak-bahak. Kubuat pantun dengan tulisan seperti ini,
anak kancil masih kecil
si tomboy centil, suka ngupil
Dan sore itu kami habiskan dengan
pesawat kertas yang berterbangan di angkasa.
***
Badanku nyeri, pegaaaaaal!!
Sehabis nge-band memang paling enak duduk di kasur sambil menikmati segelas
orange juice dan sekaleng choco chips, yuuuuummy… Baru saja mbak Nur meletakkan
orange juice di meja kamarku, teriakan Mama kembali bergema di rumah berlantai
dua ini.
“Ya udah lah terserah. Papa kan
emang gak pernah mau tau urusan keluarga!”
“Loh kok jadi Papa yang salah?
Kenapa bukannya Mama aja yang pergi? Itu kan pestanya saudara Mama. Ngapain
jadi Papa ikut-ikutan?” Suara Papa tak kalah menggema dari suara Mama.
“Tuh kan, tuh kan, mulai lagi! Di pesta itu kan temanya jungle. Harus pake
baju macam loreng-loreng macan. Mama gak mau pake baju loreng-loreng!!! Papa
aja yang pergi!!!”
Sementara suara Mama semakin
tinggi, Tomboy masuk dan merampas sekaleng
choco chips dari tanganku. Tomboy makan tiga choco chips sekali lahap.
Ia duduk di sampingku sambil terus mengunyah.
“Papa juga gak mau pake baju
loreng-loreng.” Suara Papa tak kalah tinggi.
“Papa egois.” Mama teriak.
“TERSERAH!!” Papa teriak lebih
kencang.
“AAAAAARRRRGGGGHHHH!!!!” Waw,
ternyata teriakan Mama lebih kencang lagi. Ya ampun, baju loreng-loreng saja
jadi masalah. Konyol! Tapi pertengkaran seperti ini sudah sering terjadi, tak
terhitung. Tentang bulu kucing di sepatu Mama, dasi gambar bunga melati punya
Papa, ayam tetangga yang masuk ke garasi, hal-hal semacam itu bisa bikin rumah
ini ramai. Di kamar, di teras, di tempat kerja, di mall, di mana-mana mereka
gemar sekali berselisih paham. Aku dan
Tomboy terus saja mengunyah choco chips. Hal seperti ini menjadi biasa bagi
kami. Ya, sepertinya kami terbiasa. Namun sebenarnya hati kami tidak pernah
terbiasa…
***
Aku pernah menanyakan pada Tomboy
tentang panggilan barunya kepadaku. Ia menjawab sambil nyengir, “si Via aja
manggil kakak sepupunya pake abang, masa gue panggil elu oncom. Hehe.” Aku juga
bertanya tentang Rina, Mela, Jhony, dan teman-teman gank-nya yang sudah enggak
pernah lagi datang ke rumah.
“Gue diajauhin mereka, bang.”
Tomboy menjawab santai.
“Hah? Kenapa? Lu ga mandi lagi?
Sabun di rumah lu gigitin lagi? Ampuun dah Boy.”
“Bukaaan!” Tomboy menjawab sewot.
Aku sudah mengambil bantal kursi untuk menutupi kepalaku, bersiap menangkis
tonjokan Tomboy. Tapi enggak ada tonjokan, heran juga. Aku pun melanjutkan
bertanya.
“Terus?”
“Gara-gara tiap Jumat, Sabtu, gue
ga jalan lagi sama mereka. Kan gue kebaktian. Lagian ya bang, gue cape maen
sama mereka. Ke mall muluuu. Ngomonginnya cowooo mulu, bosen!”
“Boy, kalo boleh tanya, kalo
boleh nih ya, lu dikasih makan apa sih di retreat sekolah?”
“Kenapa bang? Penasaran yak?”
Tomboy nyengir jahil.
“Dih. Pede lu!”
“Hahahahaha.” Tomboy tertawa
keras sebelum akhirnya melanjutkan, “di retreat itu gue dapet banyak hal, bang.
Mengenal Yesus dari cara yang berbeda. Selama ini gue kira Yesus itu sosok yang
kaku, yang tinggalnya di langit sana. Hehehe. Gue juga belajar tentang
pengampunan, dan ternyata kebaktian sama temen-temen enak loh. Nyanyi-nyanyi,
cerita-cerita, dan lu tau ga bang…”
Perbincangan kami eggak berhenti
hanya hari itu. Entah mengapa, aku penasaran sekali dengan perubahan Tomboy.
Cara bicara, berjalan, makan, bahkan rambutnya dibiarkan tumbuh melewati
telinganya, membuatku terus bertanya tentang perubahannya. Kami masih sering ke
bioskop menonton film action, panjat tebing, bahkan camping. Tapi kusadari,
waktu kami mulai sering kami habiskan dengan bercerita tentang Yesus, kadang
bersama teman-teman komsel, kadang hanya kami berdua. Kami duduk di teras, aku
bermain gitar dan kami berdua bernyanyi lagu yang kami tahu dari komsel, juga
dari CD lagu-lagu rohani yang kami putar di rumah dan di dalam mobil. Kadang
aku dan Tomboy duduk di kamarku dan kami saling bercerita, tentang apa saja,
sekolah, kucing tetangga, bahkan tentang cita-cita dan keluarga. Sesuatu yang
tidak pernah kami perbincangkan di tengah keributan kami di hari-hari yang
lalu. Aku kaget sampai lagi-lagi jatuh dari tempat tidur, ketika Tomboy bercerita
bahwa ia suka dengan Michael, salah satu anak komsel. Tomboy suka cowo?
Dueeeeenk!!
Suatu kali aku pernah berselisih
paham dengan Roy, anak komsel juga. Aku sangat kesal karena Roy menyebut aku
dan Tomboy sebagai anak ayam. Memang kami baru mengenal Yesus dengan cara yang
berbeda, dengan nuansa yang berbeda. Sebutan anak ayam jelas-jelas menjadikan
kami sebagai “pengikut” Kristus yang sangat tidak berharga. Aku memutuskan
untuk tidak lagi datang ke komsel. Sudah untung muka Roy tidak kujadikan abstrak!
Tapi Tomboy datang ke kamarku, aku tahu bahwa ia akan membujukku tapi ini tidak
akan berhasil. Voila, ternyata dugaanku salah. Tomboy bilang ia juga enggak
suka Roy, apalagi bila Roy datang dengan jambul 5 cm yang super norak. Tapi
Yesus akan tetap hadir di komsel dengan atau tanpa Roy, jadi kenapa aku dan
Tomboy tidak datang komsel karena Roy? Bukankah itu berarti aku dan Tomboy
lebih peduli dengan Roy dibanding Yesus? Setelah Tomboy keluar dari kamarku,
aku mematikan lampu dan berdoa “Tuhan Yesus, aku merasa ini ga adil buatku dan
Tomboy. Tapi aku tau, Kau bukan Tuhan yang kurang kerjaan dan merancangkan hal
yang gak penting buat kami. Ini penting, dan saat ini aku mau membuka hatiku
untuk maapin Roy. Maapin aku juga ya Tuhan. Dalam nama Yesus, amin.”
Semua berjalan menyenangkan,
semua hari terasa baru dan kami merasa bersemangat. Sampai tiba hari aku
menerima kabar itu, kabar yang mengguncang duniaku seakan bumi tiba-tiba
kehilangan gaya gravitasi dan meluncur drastis dari porosnya. Hari yang tidak
akan kulupa, hari ketika Tomboy…
Ketika Tomboy sakit…
“Tomboy sakit kanker.” Mama
menangis histeris saat mengatakan tiga kata itu di depan kamar Tomboy di RSCM.
Aku bengong, tidak bisa menyerap dengan sempurna tiga kata singkat itu. Sampai
kurasakan lututku lemas dan tidak dapat menahan bobotku hingga aku terjongkok.
Dan kurasakan air mata hangat mengalir membasahi kerah kemejaku.
Memang sudah sebulan ini Tomboy
terlihat pucat. Ia tidak nafsu makan dan terlihat sakit. Kami pikir Tomboy
hanya pilek, ia memang mudah terserang pilek. Dua minggu yang lalu Tomboy
mimisan, kami pikir ini hal biasa karena toh ia sering juga mimisan. Beberapa
hari setelahnya, Tomboy mimisan lagi dan lagi, darah mengucur bagai air kran
wastafel. Muncul bintik-bintik merah pada tangannya dan ia demam tinggi. Kami
membawanya ke dokter keluarga, namun tiba-tiba saja Tomboy dirujuk ke RSCM dan
menjalani serangakaian tes darah dan sebagainya sampai berita ini sampai ke
telinga kami.
Mama, Papa, dan aku duduk di
ruangan dr.Martin, mendengar sang dokter memaparkan hasil tes. Tomboy mengidap
kanker darah yang juga dikenal sebagai leukimia. Kanker ini menyerang sel-sel
darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang. Normalnya, tubuh manusia akan
memberikan tanda secara teratur tentang waktunya sel darah direproduksi
kembali. Pada leukimia, sel darah putih tidak merespon tanda itu, sehingga
produksi sel darah putih tidak terkontrol atau abnormal. Dokter masih
menjelaskan panjang lebar tentang leukimia, baik dugaan penyebab penyakit
seperti radiasi, herediter, beberapa nama virus yang sulit kutangkap, juga
langkah pengobatan dengan chemotherapy, transplantasi sumsum tulang, tranfusi
darah dan sebagainya. Aku berusaha mendengarkan setiap kata dari dokter, namun
yang jelas ku dengar hanyalah isak tangis Mama dan desahan napas Papa. Kepalaku
tertunduk, lututku gemetar. Kurasakan keringat membanjiri tengkukku di ruangan
ber-AC ini. Aku coba untuk tetap mendengar dokter, dan aku menyesal telah
berusaha sekuat tenaga mendengar bahwa kemungkinan Tomboy mengidap leukemia
akut yang ditandai dengan perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan
memburuk. Aku merasa pusing. Kursiku seperti bergoyang dan aku ingin muntah.
Kudekap dadaku erat, berusaha menenangkan jantung yang seperti ingin melompat keluar
dari tubuhku. Pandanganku kabur, dan air mataku mengalir lagi.
Aku duduk menghadap Tomboy.
Kulihat garis nyata berupa tulang yang menonjol pada pipi dan rahangnya. Lalu
matanya terbuka.
“Udah bangun, Boy? Ih, elap tuh
iler lu”. Kataku sembari mengernyitkan hidung. Tomboy mengusap ujung bibirnya
sambil nyengir lebar.
“Gue udah tau bang. Gue paksa
Papa cerita”. Kami terdiam, cukup lama hingga suara, “tik… Tik… Tik…” dari jam
dinding terdengar begitu nyaring.
“Bang.”
“Ya?” Aku menjawab pelan.
Lama kami kembali terdiam sampai
Tomboy berkata, “gue takut… gue takut bang.” Suara Tomboy begitu pelan hingga
terdengar seperti desahan. Kulihat airmatanya turun membasahi punggung
tangannya. Aku mendekat dan kuangkat kedua tanganku untuk memeluknya, suatu hal
yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kurasakan tubuhnya bergetar,
airmatanya membasahi pundakku. Tubuhnya begitu kecil, aku seperti memeluk
rangka manusia. Kubelai rambutnya, dan kuhirup aroma shampoo lidah buaya
favoritnya.
“Gue takuut… Gue… Gue… Takut
bang…” Isakan tomboy semakin keras, aku memeluknya kian erat. Tak ada kata yang
keluar dari mulut kami, hanya air mata yang menganak sungai.
***
Aku duduk di tempat tidur Tomboy.
Kuambil bantal guling butut yang sudah dipakainya sejak kelas dua SD. Kuraih
foto berbingkai hitam di atas rak, foto setelah kami bermain basket di Senayan.
Aaah… Rumah sepi sekali tanpa Tomboy. Sudah sebulan sejak ia masuk rumah sakit.
Tomboy yang cerewet, yang berlari kian kemari di dalam dan luar rumah persis seperti
kancil di cerita anak-anak, Tomboy yang bersabuk hitam, kini tertidur di kamar
rumah sakit dengan pakaian tidur bergaris biru. Kupeluk bantal guling Tomboy,
dan kuucapkan doa yang selalu kuutarakan, pagi, siang, sore, malam, di mobil,
di kamar, di kampus, bahkan di meja makan.
“Tuhan, aku janji enggak bakal
berantem sama Tomboy lagi, aku bakal selesein kuliahku yang udah kegantung dua
tahun, aku udah mutusin Chika dan Meyla dan janji gak bakal selingkuh lagi, aku
udah bakar semua majalah dan dvd porno yang aku punya. Aku juga bakal
melayani-Mu, jadi pemain musik di gereja, di komsel, aku bakal sering amal ke
panti asuhan. So, please God, please, tolong sembuhin Tomboy. Kau harapanku
satu-satunya. Thx God, dalam nama Yesus, amin.”
***
“Hai Ribka. Gimana, udah baikan?”
Michael muncul di pintu.
“Ha… Hai bang!! Wah, tum.. Tumben
dateng sendiri. Masuk, bang.” Tomboy segera duduk tegak di atas tempat
tidurnya. Tangannya menyisir poninya yang berantakan. Matanya mendelik padaku
dengan tatapan “kok-gak-bilang-bang-Michael-mau-dateng!!” Aku tersenyum geli.
Aku pamit keluar untuk menebus
obat. Tomboy menyatukan kedua telapak tangannya sebagai simbol terima kasih
karena aku membiarkan mereka mengobrol di kamar tanpaku. Sekilas aku melihat
mata Tomboy berkaca-kaca saat Michael menaruh seikat bunga mawar merah di dalam
vas berisi air. Bunga mawar merah yang kuberikan pada Michael, yang susah payah
kurayu agar mau menjenguk Tomboy tanpa teman-teman komsel. Aku tahu ini salah.
Tapi apapun akan kulakukan untuk membuat Tomboy senang. Apapun itu…
Tiga minggu setelah Tomboy pulang
dari Singapura, kesehatan Tomboy tak juga membaik. Ia kerap kali muntah darah.
Chemotherapy yang dijalaninya serasa tak membantu. Setiap kali ia muntah darah,
jantungku selalu ingin melompat keluar. Kerongkonganku serasa basah oleh darah.
Suatu kali saat Mama mengambil kelopak mawar di rambut Tomboy, kelopak itu
terambil bersama segenggam penuh rambut Tomboy. Itulah sebabnya Tomboy memakai
topi.
Di waktu yang lain, gantungan
handphone-ku menggelinding ke bawah tempat tidurnya. Dan disana aku menemukan
beberapa butir obat.
“Apaan nih?” Kataku sambil
menunjukkan beberapa obat di genggamanku ke depan hidung Tomboy. Ia hanya
tertunduk.
“Jawab.” Kataku dengan nada
menahan marah. Tomboy tetap diam. Ia juga mulai ketakutan.
“JAWAAAAB!!! Aku membentak sambil
melempar obat dalam genggamanku ke lantai. Tomboy mulai terisak dan meringkuk
di atas tempat tidurnya. Aku membanting tempat minum plastik dengan erangan
yang tertahan dalam kerongkongan, hingga aku terdengar seperti anjing yang
ekornya terjepit, erangan marah sekaligus menyakitkan.
“Gampang banget lu ya buang-buang
obat!! Lu ga tau nih obat mahal?!!" Bukan-bukan ini yang mau aku katakan.
“Susah-susah Papa masukin lu ke
rumah sakit, ga tau terima kasih!!” Tidak. Bukan. Tidak kata-kata ini yang
ingin aku katakan. Sementara itu Tomboy terisak semakin keras.
“Gue… Gu…Gue…” Aku berkata sambil
menarik napas tertahan.
“GUE GA PENGEN LU MATIII!!!!” Ya,
inilah yang ingin sekali aku katakan.
Aku segera keluar kamar dan
jongkok di depan pintu kamarnya. Dapat kudengar jelas tangisan Tomboy. Tangis
yang tidak ingin aku dengar, yang membelah hatiku menjadi sayatan-sayatan
kecil. Aku tak peduli dengan orang yang lalu-lalang. Aku sama sekali tak peduli
bahkan ketika air mataku jatuh, lagi dan lagi.
Aku bisa terima, saat belalang
tempurku harus dijual dan kini aku memakai motor biasa. Aku juga terima, ketika
Papa cerita tentang biaya yang sangat besar untuk pengobatan Tomboy. Aku tahan
dengan Mama yang selalu menangis di depan mataku. Namun yang tidak bisa
kuterima adalah Tomboy yang terbaring sakit. Yang seringkali kudapati menangis
diam-diam di atas tempat tidurnya. Tomboy yang minum berpuluh-puluh tablet obat
setiap hari. Semuanya terasa sangat menggangu sekaligus menyakitkan. Semuanya
tidak masuk akal, ini terasa tidak benar.
Di kamarku, aku duduk dengan
Alkitab yang tertutup di pangkuanku. Tak ada ayat yang terbaca malam ini. Aku
memejamkan mataku dan mulai mengadu, “Tuhan, aku ga pernah semerana ini. Saat
aku bangun, aku takut hari ini akan berjalan tanpa Tomboy. Aku takut nerima
telepon dari Mama dan Papa untuk kabar yang selamanya ga ingin aku denger.
Tidurku ga nyenyak, makan apapun ga terasa enak. Rasanya aku bakal mati duluan
dibanding Tomboy karena ketakutanku. Aku rela, rela Tuhan… Menukar hidupku
untuk hidup Tomboy. Kau satu-satunya harapan kami. Tolong, jangan Tuhan, jangan
biarkan Tomboy menutup mata sebelum mataku tertutup. Kumohon… Kumohon…”
***
Kami duduk menempel di atas
tempat tidur dengan kitab Mazmur yang terbuka di pangkuanku. Seperti yang
seringkali kami lakukan, bersamaan kami membaca Mazmur favorit kami,
Mazmur 46:2-4
Allah itu bagi kita tempat
perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.
Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun
gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya,
sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.
“Bang, kalo udah sembuh, gue mau
ke Yerusalem.” Tomboy memulai pembicaraan. Cengirannya lebar dan jahil. Aku
mengacak rambutnya perlahan.
“Iya, nanti kita juga poto-poto
ke Betlehem, terus kita juga main air di sungai Yordan, ngerujak di Kanaan.
Makanya lu cepetan sembuh.”
Tomboy mengangguk pelan.
Kurasakan semangat yang meluap dari hatinya menular ke hatiku. Kurasa, Tomboy
akan segera sembuh. Terngiang kembali Mazmur favorit kami, “Allah itu tempat
perlindungan dan kekuatan, penolong dalam kesesakan. Sebab itu kita tidak akan
takut…” Ya, kita tidak perlu takut.
***
Tangan kami saling menggenggam.
Papa memimpin doa pagi kami, yang dimulai dengan lagu, ‘selamat pagi, Bapa’ dan
tetap dengan pokok doa, yakni kesembuhan Tomboy. Doa pagi bersama rutin kami
lakukan semenjak Tomboy masuk RS. Semenjak itu pula, Banyak sekali yang ikut
mendoakan keluarga kami dan Tomboy. Para Pendeta dari gereja Papa maupun dari
gereja aku dan Tomboy (Papa dan kami sudah berbeda gereja), juga pemuda-remaja
sering datang untuk mendoakan, menyemangati, dan menghibur kami. Bagus juga aku
dan Papa berbeda gereja, makin banyak yang datang berdoa, makin baik kan? Sudah
begini banyak yang berdoa, enggak mungkin Tuhan tak mendengar. Ia pasti
mengabulkan doa kami, Tomboy akan sembuh.
Aku dan Tomboy duduk di dekat
jendela kamarnya di lantai atas. Aku menatapnya dengan senyum simpul. Dagunya
tegas dan lancip, matanya bulat dengan bola mata hitam yang polos dan selalu
ingin tahu. Kantong hitam besar dan tebal menggantung di bawah kelopak matanya.
Tulang pipinya semakin menonjol, membentuk garis yang semakin hari semakin
nyata. Kepalanya tak berambut. Kulit yang mati mengering di bibir kecilnya.
Lalu Tomboy menangkap tatapanku dan mulai mengajukan pertanyaan.
“Kenapa ngeliatin gue? Gue cantik
banget ya? Hahaha…” Katanya lemah dengan tawa yang pelan.
Aku menjulurkan lidah dan
mengeluarkan suara seperti orang muntah. Tomboy kembali tertawa.
“Iya, lu cantik.” Kataku
bersungguh-sungguh. Tomboy membelalak tak percaya. Aku melanjutkan, “kalo
diliat dari Monas pake sedotan Aqua.” Tomboy cemberut.
“Woooo… Ngambek nii yee.” Aku berusaha menggodanya. Bibir Tomboy
bertambah manyun.
Aku menyentuh dagu tomboy.
Kubelai lembut pipinya dengan punggung tanganku. Kucubit pelan hidung
mancungnya. Matanya menatap mataku. Aku tersenyum tulus.
“Lu adalah wanita tercantik di
seluruh dunia, yang pernah gue liat sumur idup gue.” Kata-kata itu meluncur
mulus dari bibirku. Tomboy kembali membelalak tak percaya. Ia menunggu,
kalau-kalau itu hanya gurauanku. Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi. Tomboy
menunduk.
“Lebih cantik dari Via?”
Tanyanya.
“Iya lah. Lebih cantik juga dari
Angelina Jolie, Dewi Persik, Mpok Nori, dari semua-semuanya deh.” Aku berkata
dengan sangat yakin. Tomboy tertawa senang. Aku tidak bergurau. Tomboy adalah
wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah kulihat seumur hidupku. Bahkan
dengan tulang yang menonjol, kantung mata hitam yang menggantung, kepala tanpa
rambut, kulit mati di bibirnya, dan penyakit yang menggerogoti tubuh dan
hatinya, ia tetap wanita yang tercantik di seluruh dunia, dalam hidup dan
hatiku.
Selanjutnya kami sibuk
melipat-lipat kertas berwarna biru muda, warna yang kini menjadi kesukaan
Tomboy semenjak Michael datang membawakan topi biru muda. Angin sepoi-sepoi
menyapu wajah kami dengan lembut. Setelah kami selesai membuat pesawat kertas,
kami menerbangkannya ke luar jendela. Pesawat kertas itu jatuh menukik ke
kepala dokter yang botak. Dokter itu berputar-putar mencari penerbang pesawat
sambil memaki-maki. Kami bersembunyi di bawah jendela sambil tertawa histeris.
Di dalam pesawat kertas, kami menulis doa dan harapan terbesar kami, “Tomboy
and Oncom goes to Jerusalem.”
***
Gerimis turun membasahi rumput
hijau yang segar, yang terpotong dengan sangat rapi. Wangi bunga mawar dan
potongan daun pandan bercampur dengan aroma tanah basah yang menyeruak ke tiap
hidung para pengunjung makam. Matahari sore tidak nampak karena awan yang
muram. Para wanita dan pria berbaju hitam menangis terisak. Peti diturunkan,
mawar ditabur, daun pandan di tebar, air mata mengalir. Lagu puji-pujian di
naikkan dengan sedih. Aku duduk di bawah pohon beringin, jauh dari kerumunan.
Melipat kertas biru muda menjadi pesawat kertas…
Ketika Tomboy pulang ke rumah
Bapa…
Dua tahun…
“Aaaaaargggghh!!! Gue
kesiangaaan!!!” Aku melompat dari tempat tidur dan menyambar handuk dari
punggung kursi. Aku mandi secepat kilat dan mengunyah roti isi selai coklat
sambil mengikat tali sepatu. Kunyalakan mesin motor dan bergegas berangkat ke
kampus menemui Dosen pembimbing untuk mendiskusikan skripsiku. Headset
terpasang dengan lagu praise and worship. Dalam hati aku berjanji akan
mengganti saat teduh yang terlewat karena bangun kesiangan dengan doa malam
yang lebih panjang dan mesra dari biasanya.
Lumayan, bimbingan kali ini
berjalan cukup baik. Walaupun ada revisi di sana sini, aku sudah bisa
membayangkan diriku dengan toga di atas podium. Sangat menyenangkan!! Aku
yakin, Desember ini aku akan menjadi Sarjana Ekonomi. Bangganya!
Kubelokkan motorku ke komplek
pemakaman. Aku menyusuri Blok E dan melewati berbagai bunga warna-warni.
Pemakaman kini seperti taman bunga, kupikir bagus juga untuk syuting. Seikat
mawar merah kutaruh di atas nisan yang berukir tinta berwarna emas. Matahari
tepat di atas kepalaku, keringat berkerumun di leher seperti semut yang
berkumpul di atas meja yang tertumpah gula. Kutaburkan potongan daun pandan di
atas batu berbentuk salib. Air mineral yang ada di tas, kutuang di atas nisan
sambil membelai nama yang berwarna emas, ‘Ribka Syalomita’.
Ya, benar. Tomboy sudah pulang ke
rumah Bapa. Dan ya, benar. Aku hancur. Saat itu, adalah waktu dengan rekor air
mata terbanyak yang tumpah dari mataku. Dua hari dari tiga hari sebelum
kepulangan Tomboy ke rumah Bapa, ia tidak mau tidur. Tomboy benar-benar tidak
tidur selama dua hari. Dokter bilang hal itu sering terjadi pada pasien yang
mengalami detik-detik terakhir di bumi. Mungkin saja Tomboy takut. Ketika ia
menutup mata, ia takut tidak dapat membuka matanya lagi. Entah, aku tidak
pernah menanyakannya pada Tomboy dan tidak pernah mau menanyakannya. Hingga
malam terakhir ia tidur, ternyata ia dapat membuka matanya lagi. Kulihat senyum
kecil di bibirnya. Sepertinya ia siap. Siap untuk pulang…
Tomboy telah tiada pada minggu
keempat Desember, beberapa hari setelah Natal. Cuaca saat itu sedang sangat
dingin. Kami bahkan tidak dapat melalui tahun yang baru bersama. Hanya tinggal
sedikit lagi tahun yang baru akan datang, namun Tomboy rupanya memang sudah
harus pulang. Beberapa hari setelah itu, Mama berkali-kali pingsan. Aku sendiri
mengurung diri di kamar, meninju-ninju bantal sambil menjerit tertahan,
“kenapa?!! Kenapa, Tuhan?!!” Tuhan tidak langsung menjawab pertanyaanku dengan
suara yang menggema di dinding kamar, suara yang membuat rumahku goyang dan api
muncul berkobar di depan mataku. Tapi ia menjawabku secara perlahan-lahan.
Lewat waktu, sahabat, Pendeta, keluarga, lewat lagu-lagu pujian, lewat Alkitab,
Firman-Nya yang agung. Aku tahu, ia memiliki segalanya. Namun aku pura-pura
tidak tahu, bahwa Ia juga memiliki hidup keluargaku. Aku sangat kecewa. Apa
salah Tomboy? Apa salahku? Bukankah sangat mudah bagi-Nya untuk menyembuhkan
sakit seseorang? Orang yang sakit kusta, yang lumpuh, yang kemasukan setan,
yang buta, bahkan yang mati dapat dibangkitkan-Nya. Apakah itu cuma sekedar
dongeng dari sebuah buku berjudul Alkitab? Mengapa harus Tomboy? Mengapa
bukannya seseorang yang sangat jahat, yang bebal, yang bahkan tidak pernah
menyebut nama-Nya?
Segunung pertanyaan berdesing
dalam kepalaku. Aku menolak untuk dihibur, aku menolak semua kata-kata manis.
Aku bahkan tidak mau mendengar kata-kata terakhir yang ditinggalkan Tomboy
padaku dalam sebuah surat berwarna biru muda. Tidak pula dengan perbincangan
(yang lebih tepat disebut pertengkaran) antara aku dengan Michael, dua bulan
setelah Tomboy berpulang.
“Apa kabar, Ndrew?” Michael
memulai pembicaraan. Kami duduk berdampingan di teras rumahku. Jarak kami hanya
dipisahkan oleh meja teras.
“Biasa aja.” Aku menjawab
singkat.
“Sibuk apa sekarang?” Michael
mulai bertanya lagi.
“Gini-gini aja”. Aku menjawab
sekenanya. Tidak berniat sama sekali untuk bertanya macam-macam pada Michael.
Aku cuma ingin ia cepat-cepat pergi.
“Om sama Tante, apa kabar?”
Tanyanya lagi.
“Baik. Semua sehat, cukup makan,
ga kurang gizi. So, ada perlu apa?” Aku benar-benar ingin menyelesaikan
pembicaraan ini.
Michael diam sejenak, lalu
berkata, “lu kemana aja, Ndrew? Kok ga komsel lagi?”
“Ga kemana-mana.”
“Terus, kenapa ga komsel?”
“Ga kenapa-kenapa.”
“Ndrew…”
“Gue ga kenapa-kenapa! Jangan sok
peduli!” Tanpa sadar, aku mulai membentak.
“Bukan sok. Gue bener-bener
peduli. Anak-anak komsel peduli sama lu.”
Aku hanya tersenyum sinis.
“Ribka udah tenang bersama Bapa.
Ikhlaskanlah…” Michael melanjutkan kata-katanya dengan tenang. Benar-benar
terdengar tulus.
“Ga bisa. Selamanya gue ga
ikhlas!” Aku kembali membentak.
“Ndrew… Ribka udah…”
Aku memotong cepat kata-katanya.
Sambil berdiri aku berkata dengan marah, “lu semua ga ngerti. Ga ada yang
ngerti! Bahkan Penguasa Alam Semesta pun enggak!!”
Michael juga berdiri dan mukanya
sedikit memerah. Ia berkata lagi, “lu bilang gitu karna lu nutup hati lu. Yesus
tuh sayang dengan…”
“Aaah!!” Aku kembali memotong
kata-katanya. “Lu tau? Cuma Tomboy satu-satunya yang bikin gue betah di rumah.
Cuma dia yang bikin gue seneng. Dan cuma dia satu-satunya ade gue!! Kenapa
Tuhan masih ngambil yang jadi satu-satunya buat gue?”
“Lu udah buta! Lu diperdaya,
tau?!” Aku melanjutkan, “Kalo Yesus sayang sama gue, keluarga gue, sama Tomboy,
kenapa Dia harus ambil Tomboy?”
“Mungkin gue buta.” Michael
berkata dengan emosi yang tertahan. Ia melanjutkan, “Tapi bahkan gue yang buta
masih bisa melihat kebaikan Yesus yang luar biasa buat keluarga lu.”
Aku diam. Napasku tak beraturan.
Aku seperti pelari yang kelelahan setelah berlari begitu jauh. Aku tidak dapat
mengatakan perasaanku dengan siapa pun. Yang selalu kulakukan hanya berteriak
kecewa di dalam hati, dengan pintu kamar yang terkunci.
“Kalo Ribka ada di sini, dia
pasti nangis ngeliat lu. Thx God, Ribka udah tenang bersama Bapa. Gue ga bisa
ngeliat dia dengan hati yang hancur, karna lu, abangnya yang tersayang,
melupakan Tuhan yang membuat Ribka berubah sampai napas terakhirnya. Tuhan yang
membuat Ribka menemukan arti hidup yang sebenarnya.” Michael segera pergi dan
menyalakan mesin motornya. Hatiku kembali nyeri.
Aku tetap bertahan dengan
kekecewaan dan amarahku. Namun aku tidak tahan untuk terus cemberut dan
mengutuk setiap hal yang ada di sekelilingku. Aku mulai tersenyum, tertawa,
walaupun sebelumnya aku tidak pernah berpikir dapat tertawa lagi. Bumi tetap
berputar pada porosnya, matahari masih terbit di timur dan tenggelam di
seberangnya. Masih ada semilir angin, masih ada gerimis yang memberi teduh di
sore hari. Tak dapat dipungkiri, semua hal indah masih terus ada walau aku
harus mengalami kehilangan yang sangat perih. Hari-hari berlalu dan Tuhan bukan
hanya menunjukkan kasih-Nya dengan cara yang luar biasa, tapi juga melalui hal
yang sederhana. Ia bukan hanya memberikan orang-orang terbaik dalam hidupku,
namun Ia juga membentukku menjadi pribadi yang baik bagi orang-orang di
sekitarku. Sahabat-sahabatku di komsel selalu menghiburku dan keluargaku.
Kata-kata Michael yang saat itu terasa pahit, kini menjadi kata-kata yang
sangat membangun. Aku mulai merasakan kembali cinta mula-mula pada Yesus.
Memang, saat itu aku tidak dapat
melihat kemuliaan Tuhan. Namun, saat ini aku mengalami langsung kemuliaan-Nya
yang Ia nyatakan dalam keluargaku. Ingat komitmenku untuk melayani-Nya bila
Tomboy sembuh? Aku pernah membuang komitmen itu jauh dari hidupku. Karena toh,
aku kan berjanji dengan syarat Tomboy harus sembuh. Seperti biasa, Tuhan tidak
pernah tingal diam. Ia tidak ingin kehilanganku, lagi! Ia menangkapku!
Tahun pertama setelah Tomboy
tiada, menjadi hari-hari yang berat dalam hidupku. Aku tetap dibimbing oleh
kakak rohani dan mengikuti ibadah dengan hati yang baru. Dua bulan ini aku
mulai melayani sebagai pemain musik di komsel dan Ibadah pemuda. Aku akan
menjadi sarjana, dan sudah satu bulan ini aku dan Via sedang mendoakan hubungan
kami untuk menjadi sepasang kekasih. Tomboy memang sudah tiada, namun ia tetap
hidup di hatiku. Aku tidak lagi mengenangnya dengan sedih dan kecewa, namun aku
mengenangnya dengan senyum dan ucapan syukur. Aku bersungguh-sungguh.
Tidak perlu lagi aku
bertanya-tanya, “kenapa?” Yang harus kutanyakan adalah, “untuk apa?” Ya, untuk
apa Tuhan merancangkan ini dalam hidupku? Firman-Nya yang selalu kupercaya,
bahwa semuanya untuk mendatangkan kebaikan. Bila aku punya waktu untuk
mempertanyakan kebesaran dan rancangan Tuhan sang pemilik alam semesta dengan
pertanyaan yang memusingkan, mengapa aku tidak punya waktu untuk mengenal Dia
lebih dekat? Untuk melayani Dia lebih sungguh lagi? Karena hidup Tomboy,
hidupku dan keluargaku adalah milik-Nya, mengapa harus marah bila Ia ingin Tomboy
lebih dulu pulang kepada-Nya?
Aku tidak akan lupa. Ketika
Tomboy berubah, adalah awal yang juga menjadi perubahanku. Tomboy mengenalkanku
pada kebaikan Yesus, ia mengajakku ke komsel dan aku sangat bersyukur
karenanya. Perubahannya adalah salah satu keajaiban dunia yang kuteguhkan dalam
hatiku, dan perubahanku adalah keajaiban pula yang terjadi karena keajaiban
sebelumnya. Yesus yang membuat keajaiban itu, tak berhenti membuat keajaiban
lainnya saat itu datang… Ya, ketika Tomboy sakit. Berjuta rasa menusuk-nusuk
hari-hari kami. Dengan doa yang tak putusnya, dan harapan yang tiada lelahnya
kami naikkan. Yesus tetap menjaga kami. Dan tiba juga, ketika Tomboy berpulang
ke rumah Bapa. Ah, inilah masa yang paling menyedihkan. Namun di sinilah aku
benar-benar melihat kebaikan Tuhan. Sepertinya Ia mengambil yang menjadi
satu-satunya dalam hidupku, tanpa sebelumnya kusadari, yang benar-benar menjadi
satu-satunya dalam hidupku hanyalah Yesus. Ketika Tomboy menjadi adikku,
hidupku sangat menyenangkan. Sekarang pun aku tetap merasa senang, karena untuk
selamanya, Tomboy tetap adikku.
“Tunggu. Tunggu bentar, Boy.
Disini gue lagi berdoa dan berusaha keras supaya keluarga kita bener-bener
mengenal Yesus. Seperti Yesus yang ngubahin lu, Yesus yang ngubahin gue, Yesus
juga yang pasti ngubahin keluarga kita.”
Dua kata terakhir yang aku
bisikkan pada telinga Tomboy saat ia akan pulang ke rumah Bapa. Aku yakin
Tomboy dengar, karena ia tersenyum setelah dua kata ini kuucapkan, “makasih,
adikku.”
Epilog:
Dear: Abang Andrew Syalomino. Si
Oncom sejati.
Apa skarang udah tahun baru?
Maaf, kalo gue ga bisa bertahan sampe kembang api tahun baru. Kalo gue bisa
bertahan, maaf juga karna lu gak bisa ngeliat kembang api karna nemenin gue.
Bang, jangan marah kalo
seandainya gue pulang duluan ke rumah Bapa. Jangan iri yaa!! Haha… Bila saatnya
gue pergi, gue gak pergi dengan nyesel karna gue akhirnya bisa bener-bener
bersyukur karna punya keluarga seperti kalian, karna gue punya punya elu, bang.
Apa lu masih bertanya-tanya kenapa
gue yang jago silat ini bisa pake rok? Bukan, ini bukan karna Bang Michael. Ini
karna Yesus. Sebelumya, gue belajar silat, gue panjat tebing, loncat-loncat
maen basket, itu semua karena gue gak betah di rumah. Gue pengen bebas, gue
pengen dihargai. Mama sama Papa berantem terus, gue gak pernah dipuji sebagai
anak yang nyenengin mereka. Mau tau bang? Gue gak pernah suka silat, gue gak
suka panas-panasan manjat tebing, gue gak suka rantai-rantai di pinggang celana
gue, gue gak suka semua itu! Tapi gue harus jadi seseorang yang gak gue suka
supaya gue dihargai orang lain, supaya gue merasa diterima. Tapi sejak gue
kenal Yesus, gue gak perlu lagi jadi orang lain. Gue bisa pakai baju yang gue
suka, gue bisa menikmati hari-hari gue dalam persekutuan. Kenyataannya, Yesus
cinta sama gue, dan itu lebih dari cukup. Cuma Yesus satu-satunya yang bisa
bikin gue jadi perempuan yang seutuhnya ^^
Doakan keluarga kita ya bang,
supaya bisa bener-bener menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Lu harus
janji, lu harus jadi sarjana. Banyak doa, tobat kau, sebentar lagi akhir zaman.
Titip salam buat Bang Michael, si ganteng itu. Hehe… Thx for all, bang ^^.
Always love you, abangku.
Tomboy
Tamat...
Tuhan Yesus memberkati :*
No comments:
Post a Comment