Monday, January 26, 2015

Kisah Tomboy dan Pesawat kertas




          Shalom semuanya, kali ini saya akan menuliskan sebuah cerpen yang benar-benar menyentuh hati saya. Karena kisah ini mengenai seorang cewek yang sebelumnya adalah seorang cewek tomboy, yang karena pertobatannya membuat abangnya juga berubah & dari situ juga awal dari pemulihan keluarga si tomboy. Dan perlu saya sarankan untuk teman-teman supaya membaca notes ini lewat komputer anda. Karena cerpen ini amat panjang.
 Baiklah tanpa basa-basi lagi, berikut ini adalah kisahnya. Selamat membaca. ^_~Aw

 Ketika Tomboy berubah…
 “Gue sumpahin lu jadi botaaaaaaak!!!”
Biasanya teriakan itulah yang menggema tiap hari di rumah berlantai dua ini, teriakan si Ribka Syalomita yang adalah adik perempuanku satu-satunya. Perempuan? Di KTP sih tertulis begitu, tapi aslinya… Pria banget!! Ksatria, perkasa! Makanya aku enggak pernah manggil dia Ribka, mulut jadi asin kalau manggil dia pakai nama perempuan. Jadi aku panggil dia Ribko Santoso, tapi karena kepanjangan, aku panggil dia Tomboy.

Selain rambutnya yang bondol kaya Afgan, Tomboy juga jago silat. Pemegang sabuk hitam sejak pertengahan kelas dua SMA. Jalannya petantang-petenteng, mirip preman di sinetron. Rok yang tomboy punya cuma rok sekolah, sisanya celana. Mau ke gereja juga pakai celana, untungnya masih celana bahan. Dengan tinggi 157 cm dan berat 45 kg, Tomboy termasuk mungil. Waktu masih kecil, kulit Tomboy bersih bersinar, sekarang sudah menghitam karena suka panjat tebing. Matanya besar dan bola matanya hitam, memang cocok buat Tomboy yang selalu penasaran sama urusan orang lain. Kulit mukanya bersih licin, selicin singa laut.

Tapi tiga bulan ini lebih sering harga minyak goreng naik turun dibanding munculnya teriakan si Tomboy. Aku memang enggak terlalu ‘ngeh’ dengan hal apa saja yang terjadi di rumah. Suatu kali aku lagi cuci motor dan minta mbak Nur nyalain kran air. Aku kaget setengah napas karena yang muncul bukan mbak Nur, tapi lelaki berjambul dengan kumis ala “Si Doel Anak Sekolahan”. Hampir saja kepalanya benjol karena emberku, untunglah Mama cepat muncul dan mengabarkan bahwa pria berkumis itu adalah pembantu baru kami, sejak tiga hari lalu!! Dueeeeenk!!

Mungkin aku cuek, tapi perubahan Tomboy adalah hal yang sangat menarik perhatian. Istilahnya, seperti seorang nenek pakai baju jogging warna pink, celana ketat warna hijau, sekaligus pakai high heels di depan pintu mall. Mencolok banget gitu loh!

Misalnya kemarin pagi. Aku serasa mendapat serangan jantung. “Beneran nih lagunya Hillsong?” Pikirku waktu mendengar ‘King of Majesty’ dari kamar si Tomboy. Walau aku buta dengan lagu-lagu rohani, tapi kalau Hillsong ya tahu sedikitlah.
“Lu demam yak?” Punggung tanganku menutupi dahi Tomboy, mengecek apakah dia sedang pilek atau terkena demam kemarau.
“Ih oncom, apaan sih lu ah!” Tomboy menepis tanganku.
“Lagu dari mana tuh?”
“Dari Sarah. Enak kan? Gue suka banget deh sama lagu-lagunya Hillsong. Lagu-lagunya TW juga enak. Terus…”
“Lu sakit, Boy?” Potongku cepat.
Tomboy pun berlalu sambil nyengir lebar.

Kejanggalan kembali terjadi sore ini. Yang ini benar-benar bikin serangan jantung. Tomboy masuk ke kamarku untuk mengambil haedset yang kupinjam. Begini urutan kejadiannya: Kejanggalan pertama, “tok…Tok… Tok”, Tomboy mengetuk pintu kamarku, padahal biasanya, “kreeet… Gubrak”, masuk tiba-tiba persis anggota SWAT di film action. Kejanggalan kedua, “bang, headset gue mana?” Dan aku mendarat mulus dari tempat tidurku menuju lantai yang dingin.

“Lu manggil sapa, Boy?” Kataku sambil menengok kanan kiri. Siapa tahu ada orang lain di kamarku.
“Hahaha… Ya elu lah. Headset gue mana?”
“Di… Di… Di atas meja”, aku gagap.
“Oke bang”. Dan Tomboy pun kembali nyengir seraya menutup pintu pelan.
“Abaaaaaang?!!” Aku histeris di dalam kamar. Oncom adalah penggilannya kepadaku, karena aku suka pepes oncom. Dan Tomboy tahu dengan pasti aku kesal dengan julukan itu. Ya iyalah, masa muka ganteng nan cool ini dipanggil oncom?! Tapi, abang? Nooo!! Delapan belas tahun Tomboy menjadi adikku (yang aku akui di depan semua orang bahwa Tomboy adalah anak tetanggaku), baru kali ini manggil aku abang, pake senyum pula! Alamak!
Umurku memang 22 tahun, tapi menghabiskan hari-hari bersama Tomboy tak pernah ada bosannya. Berantem sih iya, justru itu yang bikin rumah jadi enggak membosankan. Selain berantem aku sering menonton film, main ke dufan, panjat tebing, camping di gunung, dan main monopoli sama Tomboy. Tapi sekarang sudah enggak pernah! Rasa penasaran ini tak terbendung lagi. Aku pun menjadi detektif dan mulai menelusuri misteri ini…
Tuut… Tuut…
“Halo?”
“Wooi, Na. Si Tomboy kemana? Kok belum pulang?” Seruku pada Rina, teman dekat tomboy.
“Ga tau, kak, bubar kelas kita langsung pisah. Lu telepon ajalah”
“Ogah! Kok lu ga pernah bareng Tomboy lagi?
“Lu tanya aja sendiri sama dia. Mulai sombong tuh anak punya temen-temen baru”. Rina menjawab ketus.
“Oh, okelah. Tengkiu yak”.

Telepon putus. Aneh… Rina aja enggak tahu dimana Tomboy berada. Nelepon Tomboy? Sorry layaw! Nanti kedokku sebagai detektif terbongkar, enggak seruuu! Tapi minimal sudah ada dua fakta: satu, Tomboy punya teman-teman baru. Dan dua, suara si Rina di telepon cempreng banget.
Aku pun melanjutkan penyelidikan. Aku ambil handphone dan mulai memijit nomor telepon Via, cewe berambut panjang yang sering bolak-balik ke kamar Tomboy belakangan ini.
Tuut… Tuut…
“Halo?”
“Ni gue, Andrew. Ada tomboy ga?”
“Oh, ada kak. Ni kita abis ibadah Jumat di sekolah. Mau ngomong langsung sama Ribka?”
“Ibadah?!” Melon yang sedang kukunyah hampir nyangkut di tenggorokan. “Ga usah, jangan bilang gue nelepon yak. Betewe, gue mo nanya Vi…”. Perbincangan pun berlanjut hingga setengah jam berikutnya…
Tahulah aku bahwa Tomboy mulai ikutan ibadah jumat di SMA-nya sejak enam bulan lalu, tepatnya waktu ia naik kelas tiga. Dan sejak ia ikut retreat tiga bulan lalu, itulah awal mula aku merasakan keanehan pada Tomboy. Tiga bulan ini tiap malam minggu Tomboy selalu ngeloyor pergi, dan baru aku tahu dari Via, bahwa ia pergi ke komsel barunya, komsel dari gereja Via. Minggu kemarin ketika kami sekeluarga mau berangkat ke gereja, Tomboy pakai rok warna hitam dengan kemeja hitam. Mata kami sekeluarga hampir melompat persis kodok di kali. Walaupun gaya pakaiannya kaya mau melayat ke rumah duka, tapi rok?! Tomboy pakai rok walaupun masih bergaya gothic. Enggak ada lagi levi’s butut robek-robek atau kaus oblong kalau Tomboy keluar rumah. Ia tetap memakai jeans dan kaus, tapi yang enggak ada robeknya. Enggak ada lagi gelang dan kalung berantai berduri yang memang norak, tapi keren menurut Tomboy. Itu semua dimuseumkan. Waw!

***

“Cabut yu”, ajakku pada Tomboy yang sedang duduk di kursi goyang sambil membaca buku bersampul biru muda.
“Kemana?” jawab tomboy tanpa mengalihkan matanya dari huruf-huruf di buku itu.
“Ke mana kek! Ke Ancol, ke Monas, ke warung makan padang, terserah lu lah”
“Nanti ya bang, abis gue baca buku ini”, Tomboy menjawab santai.
“Ah elah, baca apaan sih lu? ‘Tuhan Datang Mendekat’, Max Lucado. Ajigileee, tobat lu ye? Bacaannya berat cuy”. Kataku sambil menjitak kepala Tomboy.
“Ah, sakit oncom.” Jawab Tomboy dengan ketus.
“Beh, kalo dijitak lu manggil gw oncom lagi. Sini gue jitakin supaya lu waras lagi.” Kataku sambil menjitaki kepala Tomboy.
“Aaaah! Iya iya, kita jalan. Tapi lu ikut gue dulu ya.”
“Kemana?” Tanyaku heran.
“Ke komsel.”
“Ogah!” Dan kami pun tiba di komsel gereja Via dua jam berikutnya.

Kesan pertama di komsel ini: menyenangkan. Cuma ada lima belas orang, sembilan cewe dan enam cowo. Semuanya ramah. Musiknya cuma gitar, tapi justru terasa khidmat. Dari kecil aku dan Tomboy udah biasa ke gereja. Sama Mama, Papa juga. Papa bilang enggak enak kalau enggak gereja, soalnya salah satu petinggi gereja ini adalah bos Papa sejak zaman dahulu kala.  Di gereja tempat kami ibadah orangnya sibuk semua. Ada pejabat, artis, sampai reporter berita kriminal. Karena mereka orang sibuk, kami jaraaaaaaang banget ngobrol sama orang-orang gereja kami. Selesai ibadah ya pulang, masa mau nyapuin lantai gereja? Lagian makin lama si Via kelihatan tambah manis, lumayan datang komsel buat PDKT. Hehehe…

Setelah komsel, aku dan Tomboy mampir dulu ke cafe favorit kami. Kami berdua memesan spaghettidan orange juice. Aku sudah melahap seperempat spaghetti ketika kulihat tomboy berdoa.
“Amin”. Tomboy menyelesaikan doanya, aku masih terpana.
“Boy, lu ngapain barusan?”
“Nyuci beras. Ya berdoa lah. Sebelum makan tuh berdoa dulu.” Tomboy menyeruput orange juice dan mulai menyantap spaghetti-nya.
“Yaelah, biasanya juga langsung makan aja. Lagian kan ini di tempat umum Boy. Malu ah kalo pake berdoa.”
“Lah, kan kita udah bayar pajak. Orang yang ga bayar pajak, baru tuh malu.” Tomboy melawak. Sama sekali enggak lucu.
“Berdoa tuh di rumah sama di gereja aja, Boy. Lagian kan kita cuma makan mie. Kalo makan nasi baru berdoa.” Kataku dengan gaya ‘gue-paling-tau.’
“Lah, apa bedanya nasi sama mie?”
“Kalo nasi kecil-kecil warna putih, kalo mie keriting warna kuning.” Jawabku mantap.
“Hahahaha! Eh bang, Yesus aja berdoa dulu sebelum makan roti sama murid-murid-Nya, lah kita makan mie masa ga doa? Dosa tau bang.”
“Sok tau lu!” Dan aku pun menghabiskan makan malam itu dengan rasa berdosa.

***

Sore ini aku duduk santai di teras setelah memandikan ‘si belalang tempur’, mobil kesayanganku. Kugigit choco chips dan menyeruput melon juice. Angin semilir membuat mataku terpejam membayangkan sosok manis Via. Belum utuh Via muncul dalam khayalanku, ‘cluk’, ada sesuatu yang menyentuh hidungku. Aku bangun dengan kaget, dan melihat pesawat terbang kertas di pangkuanku. Kubuka lipatannya dan membaca sebaris pantun disana,

buah mangga enak rasanya
apalagi ditambah gula
jangan suka berkhayal tak guna
hanya akan menambah dosa

Sial! Aku bersiap bangkit dari kursi dan menjitak kepala Tomboy yang sedang duduk cekikikan di atas kap “si belalang tempur” yang sedang kujemur. Namun gerakanku terhenti ketika kulihat beberapa lembar HVS dan sebuah pulpen di atas meja di sampingku. Oooh, mau main lempar-lemparan pesawat terbang? Boleh! Ku ambil selembar HVS dengan garang dan mulai menulis. Selesai, lalu kuterbangkan pesawat kertas itu sengaja ke pohon mangga. Tomboy buru-buru turun dan segera memanjat pohon mangga. Aku tertawa terbahak-bahak. Kubuat pantun dengan tulisan seperti ini,

anak kancil masih kecil
si tomboy centil, suka ngupil
Dan sore itu kami habiskan dengan pesawat kertas yang berterbangan di angkasa.

***

Badanku nyeri, pegaaaaaal!! Sehabis nge-band memang paling enak duduk di kasur sambil menikmati segelas orange juice dan sekaleng choco chips, yuuuuummy… Baru saja mbak Nur meletakkan orange juice di meja kamarku, teriakan Mama kembali bergema di rumah berlantai dua ini.

“Ya udah lah terserah. Papa kan emang gak pernah mau tau urusan keluarga!”
“Loh kok jadi Papa yang salah? Kenapa bukannya Mama aja yang pergi? Itu kan pestanya saudara Mama. Ngapain jadi Papa ikut-ikutan?” Suara Papa tak kalah menggema dari suara Mama.
“Tuh kan, tuh kan, mulai lagi!  Di pesta itu kan temanya jungle. Harus pake baju macam loreng-loreng macan. Mama gak mau pake baju loreng-loreng!!! Papa aja yang pergi!!!”
Sementara suara Mama semakin tinggi, Tomboy masuk dan merampas sekaleng  choco chips dari tanganku. Tomboy makan tiga choco chips sekali lahap. Ia duduk di sampingku sambil terus mengunyah.
“Papa juga gak mau pake baju loreng-loreng.” Suara Papa tak kalah tinggi.
“Papa egois.” Mama teriak.
“TERSERAH!!” Papa teriak lebih kencang.

“AAAAAARRRRGGGGHHHH!!!!” Waw, ternyata teriakan Mama lebih kencang lagi. Ya ampun, baju loreng-loreng saja jadi masalah. Konyol! Tapi pertengkaran seperti ini sudah sering terjadi, tak terhitung. Tentang bulu kucing di sepatu Mama, dasi gambar bunga melati punya Papa, ayam tetangga yang masuk ke garasi, hal-hal semacam itu bisa bikin rumah ini ramai. Di kamar, di teras, di tempat kerja, di mall, di mana-mana mereka gemar sekali berselisih paham.  Aku dan Tomboy terus saja mengunyah choco chips. Hal seperti ini menjadi biasa bagi kami. Ya, sepertinya kami terbiasa. Namun sebenarnya hati kami tidak pernah terbiasa…

***

Aku pernah menanyakan pada Tomboy tentang panggilan barunya kepadaku. Ia menjawab sambil nyengir, “si Via aja manggil kakak sepupunya pake abang, masa gue panggil elu oncom. Hehe.” Aku juga bertanya tentang Rina, Mela, Jhony, dan teman-teman gank-nya yang sudah enggak pernah lagi datang ke rumah.
“Gue diajauhin mereka, bang.” Tomboy menjawab santai.

“Hah? Kenapa? Lu ga mandi lagi? Sabun di rumah lu gigitin lagi? Ampuun dah Boy.”
“Bukaaan!” Tomboy menjawab sewot. Aku sudah mengambil bantal kursi untuk menutupi kepalaku, bersiap menangkis tonjokan Tomboy. Tapi enggak ada tonjokan, heran juga. Aku pun melanjutkan bertanya.
“Terus?”
“Gara-gara tiap Jumat, Sabtu, gue ga jalan lagi sama mereka. Kan gue kebaktian. Lagian ya bang, gue cape maen sama mereka. Ke mall muluuu. Ngomonginnya cowooo mulu, bosen!”
“Boy, kalo boleh tanya, kalo boleh nih ya, lu dikasih makan apa sih di retreat sekolah?”
“Kenapa bang? Penasaran yak?” Tomboy nyengir jahil.
“Dih. Pede lu!”
“Hahahahaha.” Tomboy tertawa keras sebelum akhirnya melanjutkan, “di retreat itu gue dapet banyak hal, bang. Mengenal Yesus dari cara yang berbeda. Selama ini gue kira Yesus itu sosok yang kaku, yang tinggalnya di langit sana. Hehehe. Gue juga belajar tentang pengampunan, dan ternyata kebaktian sama temen-temen enak loh. Nyanyi-nyanyi, cerita-cerita, dan lu tau ga bang…”

Perbincangan kami eggak berhenti hanya hari itu. Entah mengapa, aku penasaran sekali dengan perubahan Tomboy. Cara bicara, berjalan, makan, bahkan rambutnya dibiarkan tumbuh melewati telinganya, membuatku terus bertanya tentang perubahannya. Kami masih sering ke bioskop menonton film action, panjat tebing, bahkan camping. Tapi kusadari, waktu kami mulai sering kami habiskan dengan bercerita tentang Yesus, kadang bersama teman-teman komsel, kadang hanya kami berdua. Kami duduk di teras, aku bermain gitar dan kami berdua bernyanyi lagu yang kami tahu dari komsel, juga dari CD lagu-lagu rohani yang kami putar di rumah dan di dalam mobil. Kadang aku dan Tomboy duduk di kamarku dan kami saling bercerita, tentang apa saja, sekolah, kucing tetangga, bahkan tentang cita-cita dan keluarga. Sesuatu yang tidak pernah kami perbincangkan di tengah keributan kami di hari-hari yang lalu. Aku kaget sampai lagi-lagi jatuh dari tempat tidur, ketika Tomboy bercerita bahwa ia suka dengan Michael, salah satu anak komsel. Tomboy suka cowo? Dueeeeenk!!

Suatu kali aku pernah berselisih paham dengan Roy, anak komsel juga. Aku sangat kesal karena Roy menyebut aku dan Tomboy sebagai anak ayam. Memang kami baru mengenal Yesus dengan cara yang berbeda, dengan nuansa yang berbeda. Sebutan anak ayam jelas-jelas menjadikan kami sebagai “pengikut” Kristus yang sangat tidak berharga. Aku memutuskan untuk tidak lagi datang ke komsel. Sudah untung muka Roy tidak kujadikan abstrak! Tapi Tomboy datang ke kamarku, aku tahu bahwa ia akan membujukku tapi ini tidak akan berhasil. Voila, ternyata dugaanku salah. Tomboy bilang ia juga enggak suka Roy, apalagi bila Roy datang dengan jambul 5 cm yang super norak. Tapi Yesus akan tetap hadir di komsel dengan atau tanpa Roy, jadi kenapa aku dan Tomboy tidak datang komsel karena Roy? Bukankah itu berarti aku dan Tomboy lebih peduli dengan Roy dibanding Yesus? Setelah Tomboy keluar dari kamarku, aku mematikan lampu dan berdoa “Tuhan Yesus, aku merasa ini ga adil buatku dan Tomboy. Tapi aku tau, Kau bukan Tuhan yang kurang kerjaan dan merancangkan hal yang gak penting buat kami. Ini penting, dan saat ini aku mau membuka hatiku untuk maapin Roy. Maapin aku juga ya Tuhan. Dalam nama Yesus, amin.”

Semua berjalan menyenangkan, semua hari terasa baru dan kami merasa bersemangat. Sampai tiba hari aku menerima kabar itu, kabar yang mengguncang duniaku seakan bumi tiba-tiba kehilangan gaya gravitasi dan meluncur drastis dari porosnya. Hari yang tidak akan kulupa, hari ketika Tomboy…



Ketika Tomboy sakit…

“Tomboy sakit kanker.” Mama menangis histeris saat mengatakan tiga kata itu di depan kamar Tomboy di RSCM. Aku bengong, tidak bisa menyerap dengan sempurna tiga kata singkat itu. Sampai kurasakan lututku lemas dan tidak dapat menahan bobotku hingga aku terjongkok. Dan kurasakan air mata hangat mengalir membasahi kerah kemejaku.
Memang sudah sebulan ini Tomboy terlihat pucat. Ia tidak nafsu makan dan terlihat sakit. Kami pikir Tomboy hanya pilek, ia memang mudah terserang pilek. Dua minggu yang lalu Tomboy mimisan, kami pikir ini hal biasa karena toh ia sering juga mimisan. Beberapa hari setelahnya, Tomboy mimisan lagi dan lagi, darah mengucur bagai air kran wastafel. Muncul bintik-bintik merah pada tangannya dan ia demam tinggi. Kami membawanya ke dokter keluarga, namun tiba-tiba saja Tomboy dirujuk ke RSCM dan menjalani serangakaian tes darah dan sebagainya sampai berita ini sampai ke telinga kami.
Mama, Papa, dan aku duduk di ruangan dr.Martin, mendengar sang dokter memaparkan hasil tes. Tomboy mengidap kanker darah yang juga dikenal sebagai leukimia. Kanker ini menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang. Normalnya, tubuh manusia akan memberikan tanda secara teratur tentang waktunya sel darah direproduksi kembali. Pada leukimia, sel darah putih tidak merespon tanda itu, sehingga produksi sel darah putih tidak terkontrol atau abnormal. Dokter masih menjelaskan panjang lebar tentang leukimia, baik dugaan penyebab penyakit seperti radiasi, herediter, beberapa nama virus yang sulit kutangkap, juga langkah pengobatan dengan chemotherapy, transplantasi sumsum tulang, tranfusi darah dan sebagainya. Aku berusaha mendengarkan setiap kata dari dokter, namun yang jelas ku dengar hanyalah isak tangis Mama dan desahan napas Papa. Kepalaku tertunduk, lututku gemetar. Kurasakan keringat membanjiri tengkukku di ruangan ber-AC ini. Aku coba untuk tetap mendengar dokter, dan aku menyesal telah berusaha sekuat tenaga mendengar bahwa kemungkinan Tomboy mengidap leukemia akut yang ditandai dengan perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Aku merasa pusing. Kursiku seperti bergoyang dan aku ingin muntah. Kudekap dadaku erat, berusaha menenangkan jantung yang seperti ingin melompat keluar dari tubuhku. Pandanganku kabur, dan air mataku mengalir lagi.

Aku duduk menghadap Tomboy. Kulihat garis nyata berupa tulang yang menonjol pada pipi dan rahangnya. Lalu matanya terbuka.
“Udah bangun, Boy? Ih, elap tuh iler lu”. Kataku sembari mengernyitkan hidung. Tomboy mengusap ujung bibirnya sambil nyengir lebar.
“Gue udah tau bang. Gue paksa Papa cerita”. Kami terdiam, cukup lama hingga suara, “tik… Tik… Tik…” dari jam dinding terdengar begitu nyaring.
“Bang.”
“Ya?” Aku menjawab pelan.

Lama kami kembali terdiam sampai Tomboy berkata, “gue takut… gue takut bang.” Suara Tomboy begitu pelan hingga terdengar seperti desahan. Kulihat airmatanya turun membasahi punggung tangannya. Aku mendekat dan kuangkat kedua tanganku untuk memeluknya, suatu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kurasakan tubuhnya bergetar, airmatanya membasahi pundakku. Tubuhnya begitu kecil, aku seperti memeluk rangka manusia. Kubelai rambutnya, dan kuhirup aroma shampoo lidah buaya favoritnya.

“Gue takuut… Gue… Gue… Takut bang…” Isakan tomboy semakin keras, aku memeluknya kian erat. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami, hanya air mata yang menganak sungai.

***

Aku duduk di tempat tidur Tomboy. Kuambil bantal guling butut yang sudah dipakainya sejak kelas dua SD. Kuraih foto berbingkai hitam di atas rak, foto setelah kami bermain basket di Senayan. Aaah… Rumah sepi sekali tanpa Tomboy. Sudah sebulan sejak ia masuk rumah sakit. Tomboy yang cerewet, yang berlari kian kemari di dalam dan luar rumah persis seperti kancil di cerita anak-anak, Tomboy yang bersabuk hitam, kini tertidur di kamar rumah sakit dengan pakaian tidur bergaris biru. Kupeluk bantal guling Tomboy, dan kuucapkan doa yang selalu kuutarakan, pagi, siang, sore, malam, di mobil, di kamar, di kampus, bahkan di meja makan.

“Tuhan, aku janji enggak bakal berantem sama Tomboy lagi, aku bakal selesein kuliahku yang udah kegantung dua tahun, aku udah mutusin Chika dan Meyla dan janji gak bakal selingkuh lagi, aku udah bakar semua majalah dan dvd porno yang aku punya. Aku juga bakal melayani-Mu, jadi pemain musik di gereja, di komsel, aku bakal sering amal ke panti asuhan. So, please God, please, tolong sembuhin Tomboy. Kau harapanku satu-satunya. Thx God, dalam nama Yesus, amin.”

***

“Hai Ribka. Gimana, udah baikan?” Michael muncul di pintu.
“Ha… Hai bang!! Wah, tum.. Tumben dateng sendiri. Masuk, bang.” Tomboy segera duduk tegak di atas tempat tidurnya. Tangannya menyisir poninya yang berantakan. Matanya mendelik padaku dengan tatapan “kok-gak-bilang-bang-Michael-mau-dateng!!” Aku tersenyum geli.

Aku pamit keluar untuk menebus obat. Tomboy menyatukan kedua telapak tangannya sebagai simbol terima kasih karena aku membiarkan mereka mengobrol di kamar tanpaku. Sekilas aku melihat mata Tomboy berkaca-kaca saat Michael menaruh seikat bunga mawar merah di dalam vas berisi air. Bunga mawar merah yang kuberikan pada Michael, yang susah payah kurayu agar mau menjenguk Tomboy tanpa teman-teman komsel. Aku tahu ini salah. Tapi apapun akan kulakukan untuk membuat Tomboy senang. Apapun itu…

Tiga minggu setelah Tomboy pulang dari Singapura, kesehatan Tomboy tak juga membaik. Ia kerap kali muntah darah. Chemotherapy yang dijalaninya serasa tak membantu. Setiap kali ia muntah darah, jantungku selalu ingin melompat keluar. Kerongkonganku serasa basah oleh darah. Suatu kali saat Mama mengambil kelopak mawar di rambut Tomboy, kelopak itu terambil bersama segenggam penuh rambut Tomboy. Itulah sebabnya Tomboy memakai topi.
Di waktu yang lain, gantungan handphone-ku menggelinding ke bawah tempat tidurnya. Dan disana aku menemukan beberapa butir obat.

“Apaan nih?” Kataku sambil menunjukkan beberapa obat di genggamanku ke depan hidung Tomboy. Ia hanya tertunduk.
“Jawab.” Kataku dengan nada menahan marah. Tomboy tetap diam. Ia juga mulai ketakutan.
“JAWAAAAB!!! Aku membentak sambil melempar obat dalam genggamanku ke lantai. Tomboy mulai terisak dan meringkuk di atas tempat tidurnya. Aku membanting tempat minum plastik dengan erangan yang tertahan dalam kerongkongan, hingga aku terdengar seperti anjing yang ekornya terjepit, erangan marah sekaligus menyakitkan.

“Gampang banget lu ya buang-buang obat!! Lu ga tau nih obat mahal?!!" Bukan-bukan ini yang mau aku katakan.
“Susah-susah Papa masukin lu ke rumah sakit, ga tau terima kasih!!” Tidak. Bukan. Tidak kata-kata ini yang ingin aku katakan. Sementara itu Tomboy terisak semakin keras.
“Gue… Gu…Gue…” Aku berkata sambil menarik napas tertahan.
“GUE GA PENGEN LU MATIII!!!!” Ya, inilah yang ingin sekali aku katakan.

Aku segera keluar kamar dan jongkok di depan pintu kamarnya. Dapat kudengar jelas tangisan Tomboy. Tangis yang tidak ingin aku dengar, yang membelah hatiku menjadi sayatan-sayatan kecil. Aku tak peduli dengan orang yang lalu-lalang. Aku sama sekali tak peduli bahkan ketika air mataku jatuh, lagi dan lagi.

Aku bisa terima, saat belalang tempurku harus dijual dan kini aku memakai motor biasa. Aku juga terima, ketika Papa cerita tentang biaya yang sangat besar untuk pengobatan Tomboy. Aku tahan dengan Mama yang selalu menangis di depan mataku. Namun yang tidak bisa kuterima adalah Tomboy yang terbaring sakit. Yang seringkali kudapati menangis diam-diam di atas tempat tidurnya. Tomboy yang minum berpuluh-puluh tablet obat setiap hari. Semuanya terasa sangat menggangu sekaligus menyakitkan. Semuanya tidak masuk akal, ini terasa tidak benar.

Di kamarku, aku duduk dengan Alkitab yang tertutup di pangkuanku. Tak ada ayat yang terbaca malam ini. Aku memejamkan mataku dan mulai mengadu, “Tuhan, aku ga pernah semerana ini. Saat aku bangun, aku takut hari ini akan berjalan tanpa Tomboy. Aku takut nerima telepon dari Mama dan Papa untuk kabar yang selamanya ga ingin aku denger. Tidurku ga nyenyak, makan apapun ga terasa enak. Rasanya aku bakal mati duluan dibanding Tomboy karena ketakutanku. Aku rela, rela Tuhan… Menukar hidupku untuk hidup Tomboy. Kau satu-satunya harapan kami. Tolong, jangan Tuhan, jangan biarkan Tomboy menutup mata sebelum mataku tertutup. Kumohon… Kumohon…”

***

Kami duduk menempel di atas tempat tidur dengan kitab Mazmur yang terbuka di pangkuanku. Seperti yang seringkali kami lakukan, bersamaan kami membaca Mazmur favorit kami,

Mazmur 46:2-4
Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.

“Bang, kalo udah sembuh, gue mau ke Yerusalem.” Tomboy memulai pembicaraan. Cengirannya lebar dan jahil. Aku mengacak rambutnya perlahan.
“Iya, nanti kita juga poto-poto ke Betlehem, terus kita juga main air di sungai Yordan, ngerujak di Kanaan. Makanya lu cepetan sembuh.”
Tomboy mengangguk pelan. Kurasakan semangat yang meluap dari hatinya menular ke hatiku. Kurasa, Tomboy akan segera sembuh. Terngiang kembali Mazmur favorit kami, “Allah itu tempat perlindungan dan kekuatan, penolong dalam kesesakan. Sebab itu kita tidak akan takut…” Ya, kita tidak perlu takut.

***

Tangan kami saling menggenggam. Papa memimpin doa pagi kami, yang dimulai dengan lagu, ‘selamat pagi, Bapa’ dan tetap dengan pokok doa, yakni kesembuhan Tomboy. Doa pagi bersama rutin kami lakukan semenjak Tomboy masuk RS. Semenjak itu pula, Banyak sekali yang ikut mendoakan keluarga kami dan Tomboy. Para Pendeta dari gereja Papa maupun dari gereja aku dan Tomboy (Papa dan kami sudah berbeda gereja), juga pemuda-remaja sering datang untuk mendoakan, menyemangati, dan menghibur kami. Bagus juga aku dan Papa berbeda gereja, makin banyak yang datang berdoa, makin baik kan? Sudah begini banyak yang berdoa, enggak mungkin Tuhan tak mendengar. Ia pasti mengabulkan doa kami, Tomboy akan sembuh.

Aku dan Tomboy duduk di dekat jendela kamarnya di lantai atas. Aku menatapnya dengan senyum simpul. Dagunya tegas dan lancip, matanya bulat dengan bola mata hitam yang polos dan selalu ingin tahu. Kantong hitam besar dan tebal menggantung di bawah kelopak matanya. Tulang pipinya semakin menonjol, membentuk garis yang semakin hari semakin nyata. Kepalanya tak berambut. Kulit yang mati mengering di bibir kecilnya. Lalu Tomboy menangkap tatapanku dan mulai mengajukan pertanyaan.

“Kenapa ngeliatin gue? Gue cantik banget ya? Hahaha…” Katanya lemah dengan tawa yang pelan.
Aku menjulurkan lidah dan mengeluarkan suara seperti orang muntah. Tomboy kembali tertawa.
“Iya, lu cantik.” Kataku bersungguh-sungguh. Tomboy membelalak tak percaya. Aku melanjutkan, “kalo diliat dari Monas pake sedotan Aqua.” Tomboy cemberut.

“Woooo… Ngambek nii yee.”  Aku berusaha menggodanya. Bibir Tomboy bertambah manyun.
Aku menyentuh dagu tomboy. Kubelai lembut pipinya dengan punggung tanganku. Kucubit pelan hidung mancungnya. Matanya menatap mataku. Aku tersenyum tulus.
“Lu adalah wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah gue liat sumur idup gue.” Kata-kata itu meluncur mulus dari bibirku. Tomboy kembali membelalak tak percaya. Ia menunggu, kalau-kalau itu hanya gurauanku. Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi. Tomboy menunduk.
“Lebih cantik dari Via?” Tanyanya.
“Iya lah. Lebih cantik juga dari Angelina Jolie, Dewi Persik, Mpok Nori, dari semua-semuanya deh.” Aku berkata dengan sangat yakin. Tomboy tertawa senang. Aku tidak bergurau. Tomboy adalah wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah kulihat seumur hidupku. Bahkan dengan tulang yang menonjol, kantung mata hitam yang menggantung, kepala tanpa rambut, kulit mati di bibirnya, dan penyakit yang menggerogoti tubuh dan hatinya, ia tetap wanita yang tercantik di seluruh dunia, dalam hidup dan hatiku.

Selanjutnya kami sibuk melipat-lipat kertas berwarna biru muda, warna yang kini menjadi kesukaan Tomboy semenjak Michael datang membawakan topi biru muda. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah kami dengan lembut. Setelah kami selesai membuat pesawat kertas, kami menerbangkannya ke luar jendela. Pesawat kertas itu jatuh menukik ke kepala dokter yang botak. Dokter itu berputar-putar mencari penerbang pesawat sambil memaki-maki. Kami bersembunyi di bawah jendela sambil tertawa histeris. Di dalam pesawat kertas, kami menulis doa dan harapan terbesar kami, “Tomboy and Oncom goes to Jerusalem.”

***

Gerimis turun membasahi rumput hijau yang segar, yang terpotong dengan sangat rapi. Wangi bunga mawar dan potongan daun pandan bercampur dengan aroma tanah basah yang menyeruak ke tiap hidung para pengunjung makam. Matahari sore tidak nampak karena awan yang muram. Para wanita dan pria berbaju hitam menangis terisak. Peti diturunkan, mawar ditabur, daun pandan di tebar, air mata mengalir. Lagu puji-pujian di naikkan dengan sedih. Aku duduk di bawah pohon beringin, jauh dari kerumunan. Melipat kertas biru muda menjadi pesawat kertas…



Ketika Tomboy pulang ke rumah Bapa…
Dua tahun…

“Aaaaaargggghh!!! Gue kesiangaaan!!!” Aku melompat dari tempat tidur dan menyambar handuk dari punggung kursi. Aku mandi secepat kilat dan mengunyah roti isi selai coklat sambil mengikat tali sepatu. Kunyalakan mesin motor dan bergegas berangkat ke kampus menemui Dosen pembimbing untuk mendiskusikan skripsiku. Headset terpasang dengan lagu praise and worship. Dalam hati aku berjanji akan mengganti saat teduh yang terlewat karena bangun kesiangan dengan doa malam yang lebih panjang dan mesra dari biasanya.

Lumayan, bimbingan kali ini berjalan cukup baik. Walaupun ada revisi di sana sini, aku sudah bisa membayangkan diriku dengan toga di atas podium. Sangat menyenangkan!! Aku yakin, Desember ini aku akan menjadi Sarjana Ekonomi. Bangganya!

Kubelokkan motorku ke komplek pemakaman. Aku menyusuri Blok E dan melewati berbagai bunga warna-warni. Pemakaman kini seperti taman bunga, kupikir bagus juga untuk syuting. Seikat mawar merah kutaruh di atas nisan yang berukir tinta berwarna emas. Matahari tepat di atas kepalaku, keringat berkerumun di leher seperti semut yang berkumpul di atas meja yang tertumpah gula. Kutaburkan potongan daun pandan di atas batu berbentuk salib. Air mineral yang ada di tas, kutuang di atas nisan sambil membelai nama yang berwarna emas, ‘Ribka Syalomita’.
Ya, benar. Tomboy sudah pulang ke rumah Bapa. Dan ya, benar. Aku hancur. Saat itu, adalah waktu dengan rekor air mata terbanyak yang tumpah dari mataku. Dua hari dari tiga hari sebelum kepulangan Tomboy ke rumah Bapa, ia tidak mau tidur. Tomboy benar-benar tidak tidur selama dua hari. Dokter bilang hal itu sering terjadi pada pasien yang mengalami detik-detik terakhir di bumi. Mungkin saja Tomboy takut. Ketika ia menutup mata, ia takut tidak dapat membuka matanya lagi. Entah, aku tidak pernah menanyakannya pada Tomboy dan tidak pernah mau menanyakannya. Hingga malam terakhir ia tidur, ternyata ia dapat membuka matanya lagi. Kulihat senyum kecil di bibirnya. Sepertinya ia siap. Siap untuk pulang…

Tomboy telah tiada pada minggu keempat Desember, beberapa hari setelah Natal. Cuaca saat itu sedang sangat dingin. Kami bahkan tidak dapat melalui tahun yang baru bersama. Hanya tinggal sedikit lagi tahun yang baru akan datang, namun Tomboy rupanya memang sudah harus pulang. Beberapa hari setelah itu, Mama berkali-kali pingsan. Aku sendiri mengurung diri di kamar, meninju-ninju bantal sambil menjerit tertahan, “kenapa?!! Kenapa, Tuhan?!!” Tuhan tidak langsung menjawab pertanyaanku dengan suara yang menggema di dinding kamar, suara yang membuat rumahku goyang dan api muncul berkobar di depan mataku. Tapi ia menjawabku secara perlahan-lahan. Lewat waktu, sahabat, Pendeta, keluarga, lewat lagu-lagu pujian, lewat Alkitab, Firman-Nya yang agung. Aku tahu, ia memiliki segalanya. Namun aku pura-pura tidak tahu, bahwa Ia juga memiliki hidup keluargaku. Aku sangat kecewa. Apa salah Tomboy? Apa salahku? Bukankah sangat mudah bagi-Nya untuk menyembuhkan sakit seseorang? Orang yang sakit kusta, yang lumpuh, yang kemasukan setan, yang buta, bahkan yang mati dapat dibangkitkan-Nya. Apakah itu cuma sekedar dongeng dari sebuah buku berjudul Alkitab? Mengapa harus Tomboy? Mengapa bukannya seseorang yang sangat jahat, yang bebal, yang bahkan tidak pernah menyebut nama-Nya?

Segunung pertanyaan berdesing dalam kepalaku. Aku menolak untuk dihibur, aku menolak semua kata-kata manis. Aku bahkan tidak mau mendengar kata-kata terakhir yang ditinggalkan Tomboy padaku dalam sebuah surat berwarna biru muda. Tidak pula dengan perbincangan (yang lebih tepat disebut pertengkaran) antara aku dengan Michael, dua bulan setelah Tomboy berpulang.

“Apa kabar, Ndrew?” Michael memulai pembicaraan. Kami duduk berdampingan di teras rumahku. Jarak kami hanya dipisahkan oleh meja teras.
“Biasa aja.” Aku menjawab singkat.
“Sibuk apa sekarang?” Michael mulai bertanya lagi.
“Gini-gini aja”. Aku menjawab sekenanya. Tidak berniat sama sekali untuk bertanya macam-macam pada Michael. Aku cuma ingin ia cepat-cepat pergi.
“Om sama Tante, apa kabar?” Tanyanya lagi.
“Baik. Semua sehat, cukup makan, ga kurang gizi. So, ada perlu apa?” Aku benar-benar ingin menyelesaikan pembicaraan ini.
Michael diam sejenak, lalu berkata, “lu kemana aja, Ndrew? Kok ga komsel lagi?”
“Ga kemana-mana.”
“Terus, kenapa ga komsel?”
“Ga kenapa-kenapa.”
“Ndrew…”
“Gue ga kenapa-kenapa! Jangan sok peduli!” Tanpa sadar, aku mulai membentak.
“Bukan sok. Gue bener-bener peduli. Anak-anak komsel peduli sama lu.”
Aku hanya tersenyum sinis.
“Ribka udah tenang bersama Bapa. Ikhlaskanlah…” Michael melanjutkan kata-katanya dengan tenang. Benar-benar terdengar tulus.
“Ga bisa. Selamanya gue ga ikhlas!” Aku kembali membentak.
“Ndrew… Ribka udah…”

Aku memotong cepat kata-katanya. Sambil berdiri aku berkata dengan marah, “lu semua ga ngerti. Ga ada yang ngerti! Bahkan Penguasa Alam Semesta pun enggak!!”
Michael juga berdiri dan mukanya sedikit memerah. Ia berkata lagi, “lu bilang gitu karna lu nutup hati lu. Yesus tuh sayang dengan…”
“Aaah!!” Aku kembali memotong kata-katanya. “Lu tau? Cuma Tomboy satu-satunya yang bikin gue betah di rumah. Cuma dia yang bikin gue seneng. Dan cuma dia satu-satunya ade gue!! Kenapa Tuhan masih ngambil yang jadi satu-satunya buat gue?”
“Lu udah buta! Lu diperdaya, tau?!” Aku melanjutkan, “Kalo Yesus sayang sama gue, keluarga gue, sama Tomboy, kenapa Dia harus ambil Tomboy?”
“Mungkin gue buta.” Michael berkata dengan emosi yang tertahan. Ia melanjutkan, “Tapi bahkan gue yang buta masih bisa melihat kebaikan Yesus yang luar biasa buat keluarga lu.”
Aku diam. Napasku tak beraturan. Aku seperti pelari yang kelelahan setelah berlari begitu jauh. Aku tidak dapat mengatakan perasaanku dengan siapa pun. Yang selalu kulakukan hanya berteriak kecewa di dalam hati, dengan pintu kamar yang terkunci.

“Kalo Ribka ada di sini, dia pasti nangis ngeliat lu. Thx God, Ribka udah tenang bersama Bapa. Gue ga bisa ngeliat dia dengan hati yang hancur, karna lu, abangnya yang tersayang, melupakan Tuhan yang membuat Ribka berubah sampai napas terakhirnya. Tuhan yang membuat Ribka menemukan arti hidup yang sebenarnya.” Michael segera pergi dan menyalakan mesin motornya. Hatiku kembali nyeri.

Aku tetap bertahan dengan kekecewaan dan amarahku. Namun aku tidak tahan untuk terus cemberut dan mengutuk setiap hal yang ada di sekelilingku. Aku mulai tersenyum, tertawa, walaupun sebelumnya aku tidak pernah berpikir dapat tertawa lagi. Bumi tetap berputar pada porosnya, matahari masih terbit di timur dan tenggelam di seberangnya. Masih ada semilir angin, masih ada gerimis yang memberi teduh di sore hari. Tak dapat dipungkiri, semua hal indah masih terus ada walau aku harus mengalami kehilangan yang sangat perih. Hari-hari berlalu dan Tuhan bukan hanya menunjukkan kasih-Nya dengan cara yang luar biasa, tapi juga melalui hal yang sederhana. Ia bukan hanya memberikan orang-orang terbaik dalam hidupku, namun Ia juga membentukku menjadi pribadi yang baik bagi orang-orang di sekitarku. Sahabat-sahabatku di komsel selalu menghiburku dan keluargaku. Kata-kata Michael yang saat itu terasa pahit, kini menjadi kata-kata yang sangat membangun. Aku mulai merasakan kembali cinta mula-mula pada Yesus.

Memang, saat itu aku tidak dapat melihat kemuliaan Tuhan. Namun, saat ini aku mengalami langsung kemuliaan-Nya yang Ia nyatakan dalam keluargaku. Ingat komitmenku untuk melayani-Nya bila Tomboy sembuh? Aku pernah membuang komitmen itu jauh dari hidupku. Karena toh, aku kan berjanji dengan syarat Tomboy harus sembuh. Seperti biasa, Tuhan tidak pernah tingal diam. Ia tidak ingin kehilanganku, lagi! Ia menangkapku!

Tahun pertama setelah Tomboy tiada, menjadi hari-hari yang berat dalam hidupku. Aku tetap dibimbing oleh kakak rohani dan mengikuti ibadah dengan hati yang baru. Dua bulan ini aku mulai melayani sebagai pemain musik di komsel dan Ibadah pemuda. Aku akan menjadi sarjana, dan sudah satu bulan ini aku dan Via sedang mendoakan hubungan kami untuk menjadi sepasang kekasih. Tomboy memang sudah tiada, namun ia tetap hidup di hatiku. Aku tidak lagi mengenangnya dengan sedih dan kecewa, namun aku mengenangnya dengan senyum dan ucapan syukur. Aku bersungguh-sungguh.

Tidak perlu lagi aku bertanya-tanya, “kenapa?” Yang harus kutanyakan adalah, “untuk apa?” Ya, untuk apa Tuhan merancangkan ini dalam hidupku? Firman-Nya yang selalu kupercaya, bahwa semuanya untuk mendatangkan kebaikan. Bila aku punya waktu untuk mempertanyakan kebesaran dan rancangan Tuhan sang pemilik alam semesta dengan pertanyaan yang memusingkan, mengapa aku tidak punya waktu untuk mengenal Dia lebih dekat? Untuk melayani Dia lebih sungguh lagi? Karena hidup Tomboy, hidupku dan keluargaku adalah milik-Nya, mengapa harus marah bila Ia ingin Tomboy lebih dulu pulang kepada-Nya?

Aku tidak akan lupa. Ketika Tomboy berubah, adalah awal yang juga menjadi perubahanku. Tomboy mengenalkanku pada kebaikan Yesus, ia mengajakku ke komsel dan aku sangat bersyukur karenanya. Perubahannya adalah salah satu keajaiban dunia yang kuteguhkan dalam hatiku, dan perubahanku adalah keajaiban pula yang terjadi karena keajaiban sebelumnya. Yesus yang membuat keajaiban itu, tak berhenti membuat keajaiban lainnya saat itu datang… Ya, ketika Tomboy sakit. Berjuta rasa menusuk-nusuk hari-hari kami. Dengan doa yang tak putusnya, dan harapan yang tiada lelahnya kami naikkan. Yesus tetap menjaga kami. Dan tiba juga, ketika Tomboy berpulang ke rumah Bapa. Ah, inilah masa yang paling menyedihkan. Namun di sinilah aku benar-benar melihat kebaikan Tuhan. Sepertinya Ia mengambil yang menjadi satu-satunya dalam hidupku, tanpa sebelumnya kusadari, yang benar-benar menjadi satu-satunya dalam hidupku hanyalah Yesus. Ketika Tomboy menjadi adikku, hidupku sangat menyenangkan. Sekarang pun aku tetap merasa senang, karena untuk selamanya, Tomboy tetap adikku.

“Tunggu. Tunggu bentar, Boy. Disini gue lagi berdoa dan berusaha keras supaya keluarga kita bener-bener mengenal Yesus. Seperti Yesus yang ngubahin lu, Yesus yang ngubahin gue, Yesus juga yang pasti ngubahin keluarga kita.”
Dua kata terakhir yang aku bisikkan pada telinga Tomboy saat ia akan pulang ke rumah Bapa. Aku yakin Tomboy dengar, karena ia tersenyum setelah dua kata ini kuucapkan, “makasih, adikku.”


Epilog:

Dear: Abang Andrew Syalomino. Si Oncom sejati.

Apa skarang udah tahun baru? Maaf, kalo gue ga bisa bertahan sampe kembang api tahun baru. Kalo gue bisa bertahan, maaf juga karna lu gak bisa ngeliat kembang api karna nemenin gue.
Bang, jangan marah kalo seandainya gue pulang duluan ke rumah Bapa. Jangan iri yaa!! Haha… Bila saatnya gue pergi, gue gak pergi dengan nyesel karna gue akhirnya bisa bener-bener bersyukur karna punya keluarga seperti kalian, karna gue punya punya elu, bang.

Apa lu masih bertanya-tanya kenapa gue yang jago silat ini bisa pake rok? Bukan, ini bukan karna Bang Michael. Ini karna Yesus. Sebelumya, gue belajar silat, gue panjat tebing, loncat-loncat maen basket, itu semua karena gue gak betah di rumah. Gue pengen bebas, gue pengen dihargai. Mama sama Papa berantem terus, gue gak pernah dipuji sebagai anak yang nyenengin mereka. Mau tau bang? Gue gak pernah suka silat, gue gak suka panas-panasan manjat tebing, gue gak suka rantai-rantai di pinggang celana gue, gue gak suka semua itu! Tapi gue harus jadi seseorang yang gak gue suka supaya gue dihargai orang lain, supaya gue merasa diterima. Tapi sejak gue kenal Yesus, gue gak perlu lagi jadi orang lain. Gue bisa pakai baju yang gue suka, gue bisa menikmati hari-hari gue dalam persekutuan. Kenyataannya, Yesus cinta sama gue, dan itu lebih dari cukup. Cuma Yesus satu-satunya yang bisa bikin gue jadi perempuan yang seutuhnya ^^

Doakan keluarga kita ya bang, supaya bisa bener-bener menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Lu harus janji, lu harus jadi sarjana. Banyak doa, tobat kau, sebentar lagi akhir zaman. Titip salam buat Bang Michael, si ganteng itu. Hehe… Thx for all, bang ^^.

Always love you, abangku.
Tomboy

Tamat...

Tuhan Yesus memberkati :*





No comments:

Post a Comment